Susilo Bambang Yuhoyono |
JAKARTA – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diminta segera menunjuk jaksa agung baru yang definitif agar kinerja Kejaksaan Agung ke depan bisa berjalan optimal.
Pakar hukum tata negara Universitas Parahyangan Bandung Asep Warlan Yusuf menilai kinerja Kejagung akan terhambat apabila tidak segera dipimpin jaksa agung yang definitif. Saat ini, Kejagung dipimpin oleh pejabat sementara atau pelaksana tugas (plt) jaksa agung sehingga kondisi tersebut dinilai akan kontraproduktif dalam penegakan hukum.“Seorang plt hanya diperbolehkan untuk menjalankan tugas-tugas rutin jaksa agung, bukan yang bersifat kewenangan sehingga tidak dapat mengambil kebijakan strategis,” kata Asep. Dia menilai, kepemimpinan plt jelas mengganggu kinerja internal kejaksaan. Sebab, plt tidak dapat mengeluarkan kebijakan semisal mutasi pegawai.
Tidak hanya itu, kondisi ini dapat mengganggu proses penegakan hukum, misalnya keputusan untuk mencekal seseorang. Menurut Asep, apa yang dilakukan plt jaksa agung juga rawan dipertanyakan, bahkan digugat pihak lain. “Oleh karenanya, jangan berlama-lama Kejagung dipimpin seorang plt,” katanya.
Dia heran dengan Presiden yang belum kunjung menunjuk jaksa agung definitif. Padahal, seharusnya calon jaksa agung dapat dipersiapkan jauh-jauh hari karena Presiden memiliki hak prerogatif untuk itu. Asep menilai, Presiden sepertinya menginginkan jaksa agung eksternal tapi mempertimbangkan risiko adanya penolakan dari kalangan internal kejaksaan.
Mungkin juga Presiden ingin jaksa agung ditempati sosok yang diterima publik atau setidaknya orang yang dikenal reformis. “Sosok jaksa agung sangat memengaruhi citra Presiden ke depan. Kalau Presiden salah memilih jaksa agung, bisa dipastikan akan mengundang pertanyaan publik,” katanya. Dia menduga Presiden menunggu hasil uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengisi pos jaksa agung. Pasalnya, bukan tidak mungkin salah satu dari kedua capim, yakni Bambang Widjojanto atau Busyro Muqoddas, akan dipilih menjadi jaksa agung.
“Ini memang agak spekulatif. Tapi, mereka berdua kan pernah dipanggil ke Istana, mungkin saja ada pembicaraan soal itu,” katanya. Anggota Komisi III DPR Otong Abdurrahman juga mengharapkan SBY untuk secepatnya mengangkat jaksa agung definitif. Sebab, plt jaksa agung tidak dapat mengeluarkan kebijakan yang strategis. “Oleh karena itu, Komisi III tidak ingin melakukan rapat kerja dengan plt jaksa agung,” ujarnya.
Dia menduga, belum munculnya nama jaksa agung yang definitif lantaran Presiden masih mempertimbangkan apakah diambil dari internal atau eksternal kejaksaan. “Sampai kini masih menunggu siapa jaksa agung baru,” katanya.
Sebagaimana diketahui, SBY telah memberhentikan Hendarman Supandji dari jabatan jaksa agung menyikapi putusan Mahkamah Konsitusi yang mengabulkan gugatan uji materiil UU Kejaksaan yang diajukan mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra. Untuk mengisi kekosongan kepemimpinan di kejaksaan, SBY mengangkat Wakil Jaksa Agung Darmono sebagai plt jaksa agung.
Kasus Bibit-Chandra
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) Eryanto Nugroho meminta agar Kejagung berhenti mempermainkan sistem keadilan. Dia mencontohkan dengan batalnya surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) perkara dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Menurut dia, inti kasus itu sebenarnya merupakan akrobat teknis hukum yang mengakali keadilan dalam penyusunan SKPP.
Eryanto juga menyayangkan kenapa SKPP tersebut justru mengedepankan alasan sosiologis sebagai dasar penghentian penuntutan. Karena itu, dia menilai kejaksaan harus segera menerbitkan SKPP baru yang menjadikan ketiadaan bukti sebagai alasan penghentian. ”Sudah terlalu jelas bahwa perkara ini perkara rekayasa kriminalisasi sebagaimana pernah disimpulkan oleh Tim 8 agar kasus dugaan rekayasa ini segera dihentikan,” katanya.
Sepeninggal Hendarman, kata dia, kejaksaan harus mulai bisa melepaskan diri dari pola kerja lama yang bermasalah. Ke depan, persoalan seperti ini diharapkan bisa disikapi secara maksimal.
Sementara itu, Pemerintah menyerahkan persoalan penolakan peninjauan kembali (PK) atas SKPP Bibit-Chandra kepada Kejagung. “Kita serahkan sepenuhnya kepada Jaksa Agung bagaimana sebaiknya karena Jaksa Agung yang memiliki kompetensi untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan kasus tersebut,” kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Patrialis Akbar saat meresmikan law center di Jambi kemarin. Dia mengatakan persoalan tersebut merupakan domain Jaksa Agung.Mereka mandiri dan tidak bisa diintervensi oleh siapa pun.
“Jika Kejagung akan melakukan pemeriksaan kembali untuk mengambil langkah hukum, kita serahkan kepada Jaksa Agung bagaimana baiknya,” katanya. Menurut dia, pemerintah menyarankan agar Kejagung mengajukan SKPP baru dengan cara melakukan pemeriksaan kembali untuk mengumpulkan bukti baru.
Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Korupsi (Kompak) Fadjroel Rachman mengaku kecewa dengan kegagalan PK atas praperadilan SKPP di tingkat Mahkamah Agung. Putusan MA yang tidak menerima PK praperadilan pada SKPP adalah hadiah buruk rezim SBY.
“Penolakan MA atas Bibit- Chandra adalah hadiah terburuk setahun rezim SBY untuk pemberantasan korupsi bagi rakyat Indonesia,” kata Fadjroel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar